Tanggapan pribadi soal wawancara Pak Prabowo dengan beberapa pemimpin redaksi media besar: Kompas, TV One, Narasi, IDN Times, SCTV, dll.
Seumur hidup, baru kali ini aku lihat presiden terpilih berani mengundang banyak jurnalis sekaligus—dan membebaskan mereka untuk bertanya apa pun tanpa batasan.
Biasanya, wawancara dengan pejabat sekelas presiden itu:
-
Harus setor dulu daftar pertanyaan
-
Dibatasi topiknya
-
Bahkan kadang udah disensor dan diedit
Tapi kali ini? Freestyle.
Bener-bener gak ada yang dipotong, gak ada pertanyaan yang dihindari. Semua dijawab, meskipun mungkin ada yang gak puas dengan jawabannya—tapi minimal kita tahu beliau siap terbuka.
Buatku, ini langkah yang sangat baik dan patut diapresiasi. Karena pemimpin yang sehat itu harus siap dikritik dan diuji di ruang publik.
Semoga ini jadi standar baru. Bukan pencitraan semusim. Tapi budaya baru yang sehat: pemimpin gak alergi ditanya, rakyat gak takut bersuara.
Satu hal lagi yang bikin aku terkesan dari wawancara Pak Prabowo kemarin: ruangan tempat wawancaranya.
Sebuah perpustakaan pribadi.
Buku di mana-mana.
Penuh, padat, dan jelas bukan sekadar pajangan.
Dulu, beliau pernah bilang: “A good leader is a good reader.”
Dan sekarang, beliau membuktikan itu.
Buatku pribadi, ini bukan cuma soal estetik atau pencitraan. Tapi pesan yang sangat kuat:
Bahwa pemimpin harus belajar. Harus membaca. Harus terus menambah wawasan.
Yang lebih bikin merinding, pemred Kompas bilang: “Semua kebijakan Pak Prabowo sekarang sebenarnya sudah pernah beliau sampaikan sejak 2004.”
Artinya?
Beliau konsisten.
Sudah punya visi jauh sebelum duduk di kursi RI-1.
Dan meskipun gagal tiga kali, beliau tetap teguh pada impiannya untuk Indonesia.
Itu bukan hal yang mudah.
Banyak orang ketika gagal berkali-kali, menyerah.
Tapi Prabowo? Ia menunggu waktunya. Dan sekarang, ia membuktikan bahwa dia memang bersiap sejak lama.
Jujur, baru kali ini aku merasa percaya dengan presiden.
Percaya bukan cuma karena visi-visinya yang masuk akal dan bisa dilacak jejaknya, tapi karena pribadinya.
Prabowo terlihat seperti seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Bukan lagi di fase ingin membuktikan diri atau mencari keuntungan pribadi.
Tapi lebih ke fase: “Apa yang bisa saya berikan untuk bangsa ini?”
Dan satu hal yang bikin aku makin yakin adalah cara beliau menyikapi kekurangan presiden sebelumnya.
Ketika para jurnalis menyinggung soal itu, Prabowo menjawab dengan sangat dewasa:
“Iya, ada kekurangan. Tapi juga ada kelebihan. Dan setiap pemimpin pasti punya itu.”
Beliau gak menutupi kekurangan. Tapi juga gak lantas menjatuhkan.
Contohnya tentang Pak Jokowi.
Banyak kritik dari luar. Tapi Prabowo yang berada di dalam pemerintahan justru menyaksikan langsung etos kerja Jokowi yang luar biasa:
Kalau ada rakyat susah, langsung ditanggapi.
Dari sini aku belajar satu hal penting:
Kritik itu perlu. Tapi jangan lupa untuk adil.
Jangan lupa menyebut kelebihan, seperti kita menyebut kekurangan.
Karena objektivitas adalah bentuk cinta yang paling jujur terhadap negeri ini.
Ada satu momen yang bikin aku makin kagum dalam wawancara itu:
Ketika para pemimpin redaksi menyinggung soal buzzer.
Semua orang tahu, di era pemerintahan sebelumnya, buzzer itu sangat masif.
Bahkan sering jadi alat pembungkam suara kritis dan bikin suasana debat publik jadi gak sehat.
Tapi jawaban Prabowo bikin semua orang terdiam—dan kagum:
“Saya tidak kenal apa itu buzzer, apalagi menggunakannya.”
Kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam.
Seolah beliau ingin bilang:
“Aku percaya pada rakyat. Aku percaya pada kebebasan bicara.”
Dan benar aja—selama wawancara itu, pers benar-benar bebas bertanya.
Gak ada batasan, gak ada sensor, gak ada tekanan.
Itu bikin aku merasa: Mungkin ini awal dari era yang lebih dewasa dalam demokrasi kita.
Hal lain yang juga penting dan cukup sensitif ikut dibahas:
tentang kebebasan pers dan transparansi pembahasan undang-undang.
Najwa Shihab, salah satu jurnalis yang aku kagumi, mengangkat soal kekhawatiran terhadap UU Pers yang katanya akan dibahas di DPR,
dan juga menyinggung soal proses pengesahan UU TNI yang katanya terkesan sembunyi-sembunyi, tidak terbuka ke publik dan media.
Aku kira ini pertanyaan yang berat. Tapi lagi-lagi, jawaban Prabowo justru bikin kagum:
beliau mengakui kekurangan itu.
Iya, beliau bilang memang kurang terbuka, draft-nya tidak dibuka ke publik, dan itu harus diperbaiki.
Beliau berjanji, ke depan:
-
Draft undang-undang akan dibuka ke publik sebelum disahkan.
-
Proses pembahasan akan disiarkan live secara transparan.
-
Agar jurnalis dan rakyat bisa menilai secara langsung, dan bisa kritik secara objektif.
Tapi ada juga pesan penting dari Prabowo:
“Kritik boleh, tapi jangan dibesar-besarkan jika substansinya tidak banyak berubah.”
Karena bisa saja, orang-orang yang tidak senang dengan kebijakan itu, memanfaatkan situasi untuk membangun narasi negatif.
Dan di titik ini aku sadar:
Kebebasan pers bukan cuma soal bicara sebebas-bebasnya.
Tapi juga tentang tanggung jawab untuk bersikap adil dan objektif.
Salah satu momen paling jujur dalam wawancara itu adalah saat Prabowo mengakui bahwa:
birokrasi kita terlalu gemuk dan rumit.
Terlalu banyak pegawai, terlalu banyak proses, terlalu banyak jalur yang bikin lambat.
Tapi yang lebih menarik lagi adalah ketika beliau bilang:
“Saya tahu ini masalah. Tapi saya juga tahu saya belum bisa berbuat banyak soal ini.”
Kenapa? Karena Prabowo sangat sadar akan realita politik kita.
Untuk jadi pemimpin, butuh kampanye.
Untuk kampanye, butuh tim sukses.
Dan ketika sudah menang, tim sukses minta jatah.
Minta jabatan. Minta posisi. Minta kursi.
Kalau nggak dikasih, bisa jadi oposisi dari dalam.
Dan ini adalah lingkaran setan yang terus berulang di banyak level pemerintahan.
Yang keren adalah Prabowo nggak ngeles.
Beliau jujur mengakui bahwa itu budaya jelek yang sangat sulit diubah, karena sudah jadi sistem tidak tertulis di banyak tempat.
Dan dengan rendah hati beliau bilang ke para pemred:
“Tolong bantu saya. Gunakan media kalian untuk menyadarkan masyarakat bahwa budaya seperti itu harus diubah.”
Ini penting. Karena tanpa kesadaran kolektif masyarakat,
pemimpin yang baik pun akan terjebak dalam sistem yang buruk.
Dan yang bisa memutus rantai itu adalah:
-
Media yang jujur.
-
Rakyat yang kritis.
-
Dan pemimpin yang mau terbuka.
Salah satu hal yang paling bikin aku angkat topi dari wawancara Presiden Prabowo adalah keterusterangannya soal birokrasi dan ASN.
Beliau cerita soal momen saat pandemi COVID-19.
Ada satu instansi pemerintah yang biasanya diisi 400 orang, tapi gara-gara PPKM, cuma 100 yang masuk kantor.
Tapi ternyata:
Pemerintahan tetap jalan.
Itu bikin beliau sadar:
“Berarti sebenarnya kita tidak butuh sebanyak itu pegawai.”
Dan ini bukan hanya tentang jumlah, tapi juga tentang proses rekrutmennya.
Prabowo mengakui bahwa di banyak daerah:
-
ASN direkrut bukan karena kompetensi.
-
Tapi karena jalur keluarga.
-
Karena balas budi.
-
Karena honorer yang 'diangkat' karena orang dalam.
Makanya beliau mengulur rekrutmen ASN kemarin.
Bukan karena anti lapangan kerja.
Tapi karena geram.
"Kenapa jumlahnya membengkak?
Karena jalurnya bukan murni, tapi jalur belakang."
Tapi... Prabowo juga sadar:
Kalau dia langsung pecat ASN, nanti dicap otoriter.
Padahal niatnya mau bersih-bersih.
Makanya solusi yang beliau ambil adalah:
Menghapus afirmasi jalur honorer.
Semua calon ASN ke depan harus melalui jalur seleksi murni.
Nilai tinggi. Kompeten. Fair.
Dan beliau sudah menerapkannya di program SPPI, yaitu program MBG — di mana yang diterima benar-benar hasil seleksi ketat.
Tanpa KKN.
Tanpa orang dalam.
Tanpa titipan.
Prabowo tidak ingin mengulang sistem bobrok yang selama ini membuat rakyat kecewa.
Beliau ingin bangun birokrasi yang efisien, profesional, dan transparan.
Dan Prabowo sadar, ini sulit diberantas langsung.
Kalau beliau mecat—langsung dicap otoriter.
Dicap pemerintahan komando.
Padahal niatnya mau bersih-bersih.
Makanya solusi Prabowo adalah transisi yang elegan.
Beliau mendorong para:
-
Direktur
-
Kepala Inspektorat
-
Kepala bidang lain yang sudah gagap teknologi
untuk mundur secara sukarela.
Karena yang dibutuhkan Indonesia hari ini bukan sekadar senioritas,
tapi kapasitas.
Banyak kok anak-anak muda, usia 30-40 tahun,
✅ Lulusan luar negeri
✅ Paham teknologi
✅ Jauh dari kepentingan politik
✅ Siap kerja buat negeri
Dan Prabowo ingin memberi ruang untuk mereka.
Tapi...
Sekali lagi, ini soal budaya.
Makanya Prabowo nggak bisa sendiri.
Beliau berharap pemimpin-pemimpin daerah berani jujur,
berani bilang:
“Saya punya salah di masa lalu. Tapi saya mau berubah. Saya mau benahi dari sekarang.”
Dan Prabowo butuh dukungan media, masyarakat, dan pemuda.
Karena bangsa yang maju itu dimulai dari:
✅ Mengakui kesalahan
✅ Melakukan perubahan
✅ Memberi ruang pada yang muda dan kompeten
Banyak yang masih mengira program MBG (Makan Bergizi Gratis) itu cuma bagi-bagi makan.
Padahal… itu baru permulaan.
Karena setelah MBG, Prabowo akan menjalankan program besar lainnya:
-
Sekolah Rakyat
-
Koperasi Desa
-
Swasembada pangan
Dan semua itu punya benang merah.
Semua itu berangkat dari keprihatinan beliau sejak masa kampanye.
Waktu beliau kampanye (yang gagal 3 kali itu), beliau sering disambut anak-anak SD.
Tapi beliau heran:
“Kok kecil-kecil banget anak-anak ini?”
Setelah ditelusuri, ternyata banyak dari mereka gizi buruk.
Makannya nggak cukup.
Dan itu berarti…
Generasi penerus bangsa kita terancam.
Makanya Prabowo bikin program Makan Bergizi Gratis.
Tujuannya bukan sekadar kenyang. Tapi:
✅ Gizi anak terpenuhi
✅ Pertumbuhan optimal
✅ Otak cerdas
✅ Generasi kuat
Dan Prabowo tahu:
Untuk jalankan MBG butuh logistik besar.
Artinya harus ada swasembada pangan.
Prabowo nggak ngawur.
Beliau belajar dari:
-
Soeharto, soal ketahanan pangan zaman dulu
-
Presiden Brasil, yang berhasil bikin program makan nasional + swasembada
Prabowo juga ngerti:
Kalau Indonesia masih impor pangan, program MBG akan berat terus.
Maka jawabannya jelas:
✅ Bangun pertanian dalam negeri
✅ Bangun koperasi desa
✅ Bangun sekolah rakyat untuk edukasi dasar
✅ Bangun sistem distribusi nasional
Dan semuanya ini ada hitungannya.
Ada simulasi. Ada studi banding.
Ada lesson learned dari negara lain.
Jadi ketika banyak yang mencibir program MBG, Prabowo tetap teguh.
Karena beliau percaya pada visinya.
Dan yang penting: beliau sudah mempersiapkannya sejak lama.
Kadang... gagal itu perlu.
Karena dari kegagalan itu,
Lahir pemimpin yang matang. Yang paham. Yang tidak emosional. Yang konsisten.
Sekolah Rakyat: Memutus Rantai Kemiskinan dari Akar
Setelah program Makan Bergizi Gratis (MBG), Prabowo punya rencana besar berikutnya: Sekolah Rakyat. Ini bukan sekadar janji kampanye, tapi bentuk kepedulian pada anak-anak dari keluarga miskin yang selama ini sering tertinggal dalam pendidikan.
Sekolah Rakyat akan dibangun di kantong-kantong kemiskinan. Sekolah ini gratis, berbasis asrama, dan dikhususkan untuk rakyat miskin. Tujuannya jelas: memutus rantai kemiskinan. Cukup orang tuanya saja yang hidup dalam kesulitan, anak-anaknya harus bisa punya kesempatan untuk melampaui batas itu.
Dengan lingkungan yang tertata, kurikulum yang disesuaikan, dan fasilitas yang memadai, harapannya anak-anak ini bisa tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan tangguh. Ini cara Prabowo menjawab masalah ketimpangan sejak dari akarnya—dari pendidikan.
Koperasi Desa: Menghidupkan Ekonomi dari Akar Rumput
Setelah Makan Bergizi Gratis dan Sekolah Rakyat, langkah Prabowo selanjutnya adalah menghidupkan kembali koperasi desa. Gagasan ini bukan hanya romantisme masa lalu, tapi solusi konkret untuk menggerakkan ekonomi dari bawah—dari desa.
Tujuannya sederhana tapi dalam: uang berputar di desa, bukan hanya menetes dari atas. Koperasi desa ini nantinya menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat, dari simpan pinjam, produksi, distribusi, hingga kebutuhan pokok. Tapi yang paling penting: sistemnya harus bersih dan transparan.
Prabowo ingin meniru keberhasilan perekrutan program SPPI dan Sekolah Rakyat—tanpa jalur orang dalam, tanpa nepotisme. Semua dilakukan dengan meritokrasi, sistem digital. Harapannya, koperasi desa ini tidak hanya kuat secara struktur, tapi juga dipercaya rakyat.
Dengan koperasi yang sehat, desa akan punya kemandirian ekonomi, dan kita bisa benar-benar bicara tentang keadilan sosial dari bawah.
Prabowo tentang Korupsi: Mencari Hukuman yang Adil dan Efektif
Ketika seorang pemimpin redaksi dari SCTV menyinggung isu korupsi, Prabowo menjawab dengan lugas: memberantas korupsi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia menyadari bahwa banyak yang berharap koruptor dimiskinkan, tapi faktanya proses perhitungan kekayaan yang adil dan rinci itu sangat rumit—dan perlu pekerjaan besar untuk benar-benar bisa mengeksekusinya dengan tepat.
Gagasan tentang penjara di tengah laut juga masih dalam proses. Sudah ada pulau yang dilirik, salah satunya di Banten, tapi menurut Prabowo, pulau itu masih terlalu dekat. Ia menginginkan lokasi yang benar-benar aman, jauh, dan sulit diakses untuk mencegah koruptor menikmati fasilitas berlebih.
Soal hukuman mati? Prabowo mengaku ragu. Ia menyebutkan bahwa meskipun mayoritas kasus korupsi itu disengaja, tetap ada kemungkinan kecil—1 persen mungkin—karena tekanan atau keadaan. Dan kenyataannya, hukuman mati seringkali hanya jadi ancaman panjang tanpa kepastian eksekusi.
Karena itu, pendekatan yang sedang dipikirkan adalah mencari hukuman yang benar-benar menimbulkan efek jera, tapi juga manusiawi dan adil. Salah satunya, dengan memperbaiki kualitas peradilan. Prabowo menyatakan ingin menaikkan gaji hakim agar lebih berwibawa, lebih terhormat, dan lebih berani berpihak pada keadilan.
Ia pun berharap, dalam dunia ideal, para koruptor dengan sadar mau mengembalikan uang hasil korupsi. Tapi realitanya tidak demikian, dan itulah pentingnya proses hukum yang kuat dan hakim yang tak bisa dibeli.
Opini Saya sebagai Anak Muda 25 Tahun: Jangan Takut Bersaing, Peluang Itu Ada
Sebagai warga negara yang berusia 25 tahun, saya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya mencari kerja itu tidak sesulit yang dibayangkan. Iya, mungkin gajinya kecil di awal—tapi itu wajar, kita kan baru lulus. Jangan langsung berharap dapat gaji dua digit. UMK Sidoarjo saja sudah termasuk "wow" kalau kita hitung realistis.
Dengan makin banyaknya lowongan pegawai untuk SPPI, guru Sekolah Rakyat, dan manajer koperasi desa, peluang itu sebenarnya terbuka lebar. Dan yang bikin saya semakin semangat adalah karena semua proses rekrutmennya transparan dan adil. Gak ada istilah "orang dalam", semuanya murni berdasarkan kemampuan dan hasil seleksi. Ini benar-benar bikin tenang dan jadi motivasi buat siapapun yang serius ingin berkarier.
Buat saya, mereka yang suka mengeluh kemungkinan besar belum siap bersaing. Karena mereka yang sungguh-sungguh pasti udah sibuk belajar, nyiapin berkas, atau ikut pelatihan. Gak ada waktu buat ngeluh di medsos. Dan ya, kita harus siap ditempatkan di desa atau daerah miskin—namanya juga pegawai pemerintah, tugasnya ya mengabdi.
Tapi tenang, gajinya itu besar kok. SPPI kemarin memang ada keterlambatan tiga bulan, tapi pas cair langsung bareng dengan THR, totalnya sekitar 19 juta. Kan mantap? Jadi, mari bersaing secara sehat dan optimis. Yang penting siap kerja keras dan mau mulai dari bawah.
Belum ada tanggapan untuk "wawancara Pak Prabowo dengan beberapa pemimpin redaksi media besar"
Post a Comment