Beberapa hari terakhir, saya nonton cukup banyak video YouTube yang membahas isu yang sama: pemakzulan Gibran Rakabuming Raka. Tiga sumber utama yang saya tonton berasal dari Tempo, Akbar Faizal, dan Mahfud MD. Ketiganya punya sudut pandang berbeda, tapi semuanya menarik dan membuka mata saya soal apa yang sebenarnya sedang terjadi di Istana.
Dari Tempo, saya menangkap bahwa hubungan Gibran dan Prabowo itu tidak harmonis. Bahkan bisa dibilang agak canggung. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah saat Gibran tiba-tiba meluncurkan program "Lapor Mas Wapres"—yang katanya sih, nggak ada diskusi dulu sama Presiden atau lingkaran istana. Waktu itu Prabowo sedang kunjungan ke luar negeri, dan Gibran tetap di dalam negeri dengan programnya sendiri. Beberapa pejabat istana merasa heran, kayak, "Ini anak ngapain sih?"
Belum lagi soal rapat-rapat strategis. Gibran disebut jarang hadir dalam rapat terbatas (ratas) yang penting, kecuali yang rutin-rutin aja. Jadi makin kuat kesan bahwa Gibran ini nggak punya fungsi signifikan, tapi justru kadang terlihat “nyerempet” kerja-kerja yang bukan tugasnya.
Kalau melihat wawancara Najwa Shihab dengan Jokowi, saya jadi ingat pesan Jokowi ke Gibran: ojo kemajon. Yang artinya jangan terlalu maju, atau secara halus bisa dibilang: jangan bertindak se-enaknya. Sepertinya itu bukan sekadar nasihat seorang ayah, tapi juga peringatan politik.
Beranjak ke sudut pandang Akbar Faizal, menurut beliau, pemakzulan Gibran memang perlu, tapi bukan prioritas sekarang. Kenapa? Karena Indonesia sedang menghadapi persoalan jauh lebih besar: perang dingin ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Posisi Indonesia sebagai negara non-blok sangat penting, dan jangan sampai kita terjebak atau dimanfaatkan oleh salah satu pihak. Fokus Prabowo dan para menteri sebaiknya diarahkan ke situ, bukan sibuk urus Wapres yang "berulah kecil-kecilan".
Sementara itu, Mahfud MD melihat dari sisi hukum dan konstitusi. Secara teori, pemakzulan bisa dilakukan jika DPR dan MPR setuju lewat mekanisme resmi. Tapi dalam praktiknya, ini sangat sulit, karena harus ada dukungan 2/3 suara di DPR dan MPR. Bukan perkara mudah di sistem demokrasi kita yang penuh tarik-ulur politik. Tapi Mahfud juga menambahkan—dalam sejarah Indonesia, pemakzulan atau lengsernya seorang tokoh besar seringkali tidak sesuai prosedur konstitusi, tapi terjadi karena tekanan besar dari rakyat. Contohnya? Ya tentu saja Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Jadi, bisa gak Gibran dimakzulkan? Bisa. Tapi apa sekarang realistis? Belum tentu. Kecuali kalau ada guncangan besar, krisis, atau gelombang protes dari masyarakat.
Opini pribadi saya?
Saya nggak sedang ingin membenci Gibran. Tapi memang agak janggal aja, ketika seorang Wakil Presiden terlihat tidak punya fungsi jelas, tapi sering muncul dengan program sendiri. Dan ini bukan soal "anak presiden" atau bukan, tapi soal etika dan batas peran. Politik itu bukan panggung solo karier, apalagi kalau kita bicara soal sistem pemerintahan.
Dan satu hal lagi: ketidakjelasan peran Gibran justru bisa merugikan Prabowo sendiri. Karena di mata publik, pemerintah terlihat seperti pecah arah dan tidak kompak. Belum dilantik sudah keliatan gak harmonis. Padahal tantangan ke depan—mulai dari geopolitik global, krisis pangan, perubahan iklim—itu butuh soliditas, bukan kegaduhan internal.
Apakah pemakzulan solusi? Entahlah. Tapi yang jelas, rakyat hari ini makin pintar. Dan saya rasa, kita semua sedang memperhatikan… diam-diam tapi pasti.
Belum ada tanggapan untuk "“Gibran, Pemakzulan, dan Ketidakharmonisan di Istana: Politik Kita Mau ke Mana?”"
Post a Comment