Beberapa hari lalu saya menonton wawancara antara Gita Wirjawan dan Menteri Keuangan, Purbaya Yudi Sadewa. Meski durasinya panjang, percakapan itu terasa seperti membaca peta masa depan Indonesia—penuh data, tetapi juga jujur, reflektif, dan kadang menohok.
Yang menarik adalah bagaimana pembicaraan ini tidak sekadar memotret kondisi ekonomi saat ini, tetapi mencoba menjelaskan mengapa Indonesia berada di posisi sekarang dan apa yang perlu dilakukan untuk melompat lebih jauh. Dari kebijakan moneter, pendidikan, birokrasi, sampai listrik dan STEM graduates—semuanya saling terhubung.
Berikut beberapa hal yang paling mengena bagi saya.
1. Masalahnya bukan dunia luar—tapi kita sendiri
Pak Purbaya menegaskan bahwa perlambatan ekonomi Indonesia beberapa waktu terakhir bukan semata-mata karena ketidakpastian global, tapi karena sistem moneter domestik kita kurang cair.
Selama lebih dari satu tahun, pertumbuhan uang dasar (M0) hampir nol.
Artinya: ekonomi ingin berlari, tapi bensinnya ditahan.
Di wawancara itu, pemerintah menjelaskan langkah-langkah untuk “melepas rem tangan”—salah satunya dengan mengalirkan dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank umum supaya kredit bisa tumbuh.
Ini mengingatkan saya bahwa banyak masalah ekonomi bukan terjadi karena dunia “melawan” kita, tetapi karena kita sendiri yang belum sinkron mengatur mesin dalam negeri.
2. Indonesia butuh FDI lebih banyak—tapi masalahnya bukan di investor
Target FDI kita ingin naik ke $75 miliar, padahal saat ini baru sekitar $30–40 miliar.
Di atas kertas, aturan investasi sudah bagus. Masalahnya? Implementasi.
Pak Purbaya blak-blakan:
“Hukum kita bagus di atas kertas, tapi di lapangan lain cerita.”
Ada “tugas tempur” (battle-naking)—sebuah task force yang dipimpin langsung Menteri untuk menyelesaikan kasus investasi satu per satu. Setiap minggu mereka menggelar sidang keluhan investor.
Di sinilah saya sadar bahwa iklim investasi bukan soal promosi, tapi soal konsistensi penegakan aturan di lapangan.
3. STEM: masa depan ditentukan oleh jumlah orang yang bisa memecahkan masalah
Saya paling tersentuh di bagian ini.
Indonesia menghasilkan sekitar 250 ribu lulusan STEM per tahun, jauh di bawah India (2 juta), apalagi China (4,5 juta). Padahal, kalau kita ingin masuk ke industri bernilai tinggi—AI, chip, data science, biotech—kita butuh manusia yang bisa membangun teknologi, bukan hanya menggunakannya.
Pemerintah ingin memperluas beasiswa LPDP, menggandeng Stanford, MIT, Oxford, dan universitas top dunia. Tidak hanya untuk studi, tapi juga untuk menciptakan jaringan profesor dan riset di Indonesia.
Saya merasa itu langkah yang berani. Kita tidak cukup hanya membangun gedung sekolah; kita harus membangun ekosistem intelektual.
4. Infrastruktur bukan soal untung-rugi—tapi soal membuka arah baru
Ketika bicara tentang high-speed rail dan infrastruktur, Pak Purbaya memberi perspektif menarik.
Banyak proyek besar memang tidak langsung untung secara finansial. Bahkan bisa rugi.
Tapi dari kacamata ekonomi makro, proyek itu mengurangi biaya sosial, mempercepat mobilitas, dan membuka peluang baru di daerah.
Di sinilah saya mengerti kenapa negara-negara maju tetap membangun infrastruktur meski mahal: karena kecepatan adalah modal.
5. Listrik: pondasi yang jarang kita pikirkan
Saya terkejut ketika mendengar bahwa konsumsi listrik per kapita Indonesia hanya sekitar 1.300 kWh, jauh di bawah negara maju (10.000+ kWh).
Ini bukan sekadar angka—ini mencerminkan kapasitas industri, teknologi, dan kualitas hidup.
Target ke depan?
400.000 MW kapasitas listrik, padahal sekarang baru sekitar 90.000 MW.
Tantangan listrik bukan hanya “bisa atau tidak”, melainkan “mampu membayar atau tidak”.
Dan jawabannya lagi-lagi kembali ke pertumbuhan ekonomi.
6. Fiskal: Indonesia harus hidup dari produktivitas, bukan dari utang
Dengan tax ratio sekitar 10–11%, ruang fiskal Indonesia masih sempit.
Namun pemerintah mencoba pendekatan seimbang:
-
membantu UMKM
-
memperbaiki basis pajak
-
menegakkan hukum agar kebocoran anggaran berkurang
-
membangun narasi berbasis produktivitas, bukan sekadar pendapatan tetap
Yang menarik adalah fokus pada kualitas belanja pemerintah, bukan sekadar jumlahnya.
7. Reformasi birokrasi: kata-kata Pak Purbaya yang paling menempel
Ini bagian yang membuat saya berhenti sejenak.
Beliau mengatakan bahwa banyak daerah tidak bisa membelanjakan anggaran dengan benar.
Solusinya?
Dipotong.
Simpel, tapi tegas.
Reformasi birokrasi tidak akan berhasil kalau tidak ada “credible threat”.
Menurut saya, ini salah satu bagian paling jujur dari seluruh wawancara. Bukan teori, tapi realita.
Akhir Kata: Percakapan yang membuka jendela masa depan
Obrolan Pak Gita dengan Pak Purbaya terasa seperti duduk di ruang tamu dua orang yang mengerti betul bagaimana negara bekerja. Data-data besar dipecah menjadi cerita yang manusiawi.
Dan dari percakapan itu, saya menangkap pesan sederhana:
Indonesia bukan kekurangan peluang.
Indonesia hanya perlu keberanian, konsistensi, dan kapasitas manusia yang lebih kuat.
Melalui investasi pada pendidikan, penegakan hukum yang konsisten, dan kebijakan moneter yang tepat, Indonesia punya peluang nyata untuk bergerak dari pertumbuhan 6% menuju 8%—dan seterusnya.
Percakapan itu mengingatkan saya bahwa masa depan memang tidak pasti, tapi bisa dibentuk.
Dan tugas kita adalah menjadi bagian dari orang-orang yang membentuknya.
Pelajaran untuk Saya sebagai Pendidik
Dari semua hal yang dibahas Pak Gita dan Pak Purbaya, ada beberapa refleksi yang terasa dekat dengan dunia pendidikan—terutama bagi saya sebagai guru.
1. Pendidikan itu bukan soal kurikulum, tapi soal kualitas manusia
Ketika negara berbicara tentang STEM, riset, dan inovasi, saya sadar bahwa kelas yang saya ajar—betapapun sederhana—adalah bagian dari rantai besar transformasi itu.
Saya mungkin mengajar satu kelas, satu pelajaran, satu bab.
Tapi dari sanalah lahir orang-orang yang kelak:
-
membuat teknologi,
-
memimpin lembaga,
-
memperbaiki sistem,
-
atau bahkan menulis kebijakan publik.
Percakapan itu membuat saya melihat bahwa pekerjaan saya tidak berhenti di nilai rapor.
Yang sedang saya bangun adalah rasa ingin tahu, keberanian berpikir, dan kemampuan memecahkan masalah—tiga hal yang sangat dibutuhkan sebuah negara yang ingin maju.
2. Konsistensi lebih penting daripada kecerdasan
Kisah tentang bagaimana kebijakan harus konsisten dari pusat sampai daerah mengingatkan saya pada dunia pendidikan.
Sebagus apa pun metode dan kurikulum, kalau tidak konsisten menegakkan aturan belajar, tidak konsisten memberi umpan balik, siswa sulit berkembang.
Sebagai guru, saya diingatkan bahwa hal paling sederhana—disiplin hadir, memberi batas waktu, memberi arahan—itu justru yang berdampak paling besar.
3. Pendidik harus terus belajar
Melihat bagaimana pemerintah ingin meningkatkan kualitas SDM lewat LPDP, kerja sama universitas dunia, dan STEM, saya merasa tertantang untuk tidak berhenti belajar.
Saya ingin menjadi guru yang:
-
tidak hanya mengajar teori,
-
tapi juga mengikuti perkembangan zaman,
-
memahami arah ekonomi dan dunia kerja,
-
dan bisa memberi gambaran masa depan kepada siswa.
Karena realitanya, generasi yang saya ajar akan hidup di dunia yang jauh lebih kompleks daripada hari ini.
Pelajaran untuk Murid-Murid Saya
Saya juga memikirkan apa yang bisa murid saya ambil dari percakapan itu. Dan saya rangkum menjadi beberapa poin sederhana.
1. Masa depan butuh orang yang mampu memecahkan masalah
Indonesia butuh lebih banyak orang yang bisa berhitung, menganalisis data, meneliti, dan menciptakan teknologi.
Bukan berarti semua harus jadi insinyur atau ilmuwan, tapi kemampuan berpikir logis dan kemampuan belajar hal baru akan menjadi modal terbesar mereka.
Ini mengingatkan saya untuk mengajak murid belajar bukan hanya “biar dapat nilai”, tapi untuk membangun cara berpikir yang kuat.
2. Bukan yang paling pintar yang menang—tapi yang paling tekun
Pak Purbaya bercerita tentang perjalanan akademiknya yang panjang dan penuh proses.
Ini mengirim pesan bahwa keberhasilan tidak datang dari bakat saja, tetapi dari kerja keras dan ketekunan.
Saya ingin murid-murid saya tahu bahwa:
Tidak apa-apa kalau hari ini belum bisa.
Yang penting mau belajar lagi besok.
3. Dunia makin kompetitif—tapi peluang makin besar
Dengan pembangunan infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan peningkatan kualitas SDM, Indonesia sedang bersiap menjadi negara yang jauh lebih kuat.
Ini berarti akan ada lebih banyak peluang:
-
Beasiswa,
-
Pekerjaan di industri teknologi,
-
Kesempatan riset,
-
Inovasi baru,
-
Karier global.
Saya ingin membangun keyakinan kepada murid bahwa masa depan tidak menakutkan.
Mereka hanya perlu siap.
4. Jadi orang baik tetap penting
Dengan banyaknya pembahasan tentang birokrasi, hukum, dan korupsi, saya mendengar pesan moral yang besar:
Kemajuan sebuah bangsa bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang integritas orang-orangnya.
Saya ingin murid saya tumbuh menjadi orang yang:
-
jujur,
-
disiplin,
-
bisa dipercaya,
-
dan punya tanggung jawab sosial.
Karena negara butuh bukan hanya orang pintar, tapi juga orang baik.
Penutup: Pendidikan sebagai investasi jangka panjang
Setelah menonton percakapan Pak Gita dan Pak Purbaya, saya merasa bahwa masa depan Indonesia ditentukan oleh dua hal yang sangat dekat dengan dunia pendidikan:
-
Kualitas manusia, dan
-
Kemampuan untuk terus belajar.
Sebagai pendidik, saya merasa punya peran kecil tetapi penting dalam perjalanan panjang itu.
Dan untuk murid-murid saya, percakapan itu adalah undangan untuk membayangkan masa depan yang lebih besar—dan mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari bangsa yang terus bergerak maju.
Belum ada tanggapan untuk "Membaca Arah Indonesia Lewat Obrolan Pak Gita dan Pak Purbaya"
Post a Comment