Aku pernah bekerja di PKBM Ar Rayyan Surabaya selama kurang lebih sebelas bulan.
Aku mengajar Matematika dan IPA untuk program Paket B dan C. Enam bulan pertama, aku menerima gaji sebesar dua juta rupiah, tapi hampir selalu ada tambahan hingga menjadi dua setengah juta.
Itu adalah jumlah yang terbilang banyak, apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata gaji guru swasta lain di Surabaya.
Aku bersyukur karena saat itu, setelah lulus S1 bulan Agustus, aku langsung diterima kerja pada bulan Oktober.
Di antara teman-teman seangkatanku, aku termasuk yang paling cepat mendapatkan pekerjaan.
Setelah enam bulan, gajiku dinaikkan menjadi tiga juta rupiah, dan lagi-lagi ada tambahan yang membuatnya kadang mencapai tiga setengah juta.
Dari hasil jerih payah itu, aku bisa membeli laptop baru seharga tujuh juta rupiah dan sepeda motor seharga dua belas setengah juta.
Untuk hidup sendiri, gaji itu cukup. Tapi aku sadar, untuk masa depan, terutama kalau sudah berkeluarga, tentu akan perlu lebih.
Karena aku ingin terus belajar, aku bertekad untuk kuliah lagi, idealnya dengan beasiswa.
Puji Tuhan, aku diterima di PPG Prajabatan.
Namun konsekuensinya, aku harus mengundurkan diri dari PKBM sebelum masa kontrakku selesai.
Aturannya jelas: siapa pun yang resign sebelum kontrak habis tidak akan mendapatkan surat pengalaman kerja dan tidak bisa melamar ke sana lagi.
Meskipun demikian, aku tetap bersyukur.
Selama di sana, aku mendapat fasilitas antar-jemput menggunakan mobil yayasan, yang sangat membantu perjalanan jauh dari Tanggulangin ke Perak, Surabaya.
Aku juga menjaga hubungan baik dengan teman-teman di sana.
Tidak ada dendam; hanya rasa terima kasih yang dalam.
Namun, kalau boleh jujur, ada beberapa penyesalan kecil yang kadang terlintas.
Selain penyesalan karena melewatkan kesempatan beasiswa S2 di UT — yang meskipun bukan kampus impianku, tapi tetap berarti — ada pula penyesalan lain.
Seandainya dulu aku memilih untuk menerima tawaran menikah, mungkin saat ini aku sudah berkeluarga dengan salah satu ustadzah di sana.
Dengan penghasilan digabungkan, kehidupan akan lebih stabil.
Anak-anak pun bisa sekolah gratis di yayasan, karena memang ada program pendidikan gratis untuk keluarga pegawai.
Yayasan memang punya konsep membangun "keluarga besar" di dalamnya.
Tetapi, aku juga sadar, ada satu hal mendasar yang membuatku merasa kurang cocok: perbedaan dalam cara menjalankan keyakinan.
Aku bukan tipe orang yang sangat ketat dalam menjalankan agama, sementara lingkungan di sana sangat kuat nilai-nilai keislamannya.
Laki-laki bercelana di atas mata kaki, memelihara jenggot, perempuan bercadar — semua itu adalah bagian dari identitas mereka.
Aku menghormati itu, tapi aku merasa bahwa aku bukan bagian dari kultur tersebut, dan ketidakcocokan itu sedikit banyak membuatku tidak nyaman.
Kini, setelah menganggur cukup lama menunggu proses seleksi PPPK, aku kadang merasa ada sedikit penyesalan.
Namun hidup adalah tentang memilih, dan aku memilih jalan ini.
Aku tidak menyesali prosesnya.
Semua keputusan yang aku buat adalah bagian dari pembelajaran hidupku.
Aku yakin, semua ini akan membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih bijaksana di masa depan.
Belum ada tanggapan untuk "Pelajaran dari Sebelas Bulan di PKBM Ar Rayyan: Tentang Pilihan, Penyesalan, dan Syukur"
Post a Comment