Kemarin saya menonton YouTube-nya Prof. Mahfud MD. Beliau membahas satu kasus luar biasa: korupsi yang melibatkan hakim, advokat, dan panitera dari tiga pengadilan sekaligus—Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Ini bukan kasus korupsi biasa, melainkan bentuk kejahatan hukum yang sudah sangat busuk, terstruktur, sistematis, dan melibatkan banyak pihak dalam jaringan yang rapi. Segala lini dalam pengadilan ikut bermain. Parahnya lagi, ketiga pengadilan itu saling terkoneksi dalam praktik kotor tersebut.
Prof. Mahfud menegaskan bahwa ini bukan lagi hanya soal hukum. Ini soal negara. Karena, katanya, tameng terakhir dari negara adalah kepastian hukum. Kalau hukum bisa dibeli oleh oligarki, kalau pengadilan sudah dikuasai para pemilik modal, maka rakyat kehilangan harapan akan keadilan.
Beliau bilang, Presiden Prabowo harus turun tangan. Meskipun secara aturan trias politika presiden tidak boleh mencampuri urusan yudikatif, kita tak boleh lupa bahwa presiden juga adalah kepala negara, bukan hanya kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden punya tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menyelamatkan wajah peradilan di negeri ini.
Selama ini Komisi Yudisial tidak punya taring. Hanya bisa memberi teguran, membuat rekomendasi, tanpa punya wewenang eksekusi. Sedangkan Mahkamah Agung, lembaga tertinggi di ranah yudikatif, justru sudah dikuasai oleh para oligarki. Hakim-hakim berintegritas dikirim ke pelosok, sementara yang tidak punya integritas ditempatkan di pusat kota—dekat dengan kekuasaan dan uang.
Ini alarm darurat. Karena jika hukum sudah bisa dibeli, maka negara sedang berdiri di atas pasir yang rapuh.
Belum ada tanggapan untuk "Tameng Terakhir Negara yang Roboh: Catatan dari Prof. Mahfud"
Post a Comment