Ada satu momen dalam hidup, ketika dua jalan baik terbuka di hadapan kita. Keduanya menjanjikan masa depan, keduanya seolah adalah doa-doa yang dulu pernah kupanjatkan. Tapi yang tak pernah kusangka, ternyata dua mimpi itu bisa saling bertabrakan. Dan aku harus memilih—atau mencari jalan tengah yang entah mungkin atau tidak.
Aku lulusan PPG Prajabatan jurusan Matematika, tapi ketika memilih formasi P3K, aku memilih TIK di Kalimantan Timur. Alasannya sederhana dan realistis: formasinya banyak, pendaftarnya sedikit. Peluangnya besar. Aku pun tidak gegabah. Aku tetap belajar, ikut tryout, dan mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Hasilnya? Nilai manusiaku 205, cukup tinggi dibanding peserta lain. Optimismeku tumbuh.
Kalau mengacu pada timeline dari pemerintah, aku akan berangkat penempatan ke Kaltim sekitar Oktober. Tapi melihat pengalaman sebelumnya, yang sering molor dan tak sesuai jadwal, aku memilih bersikap lebih realistis: mungkin Januari, atau bahkan Februari tahun depan. Aku tak ingin terlalu berharap pada tanggal pasti, tapi tetap bersiap kalau sewaktu-waktu dipanggil.
Masalahnya muncul bukan karena P3K. Masalahnya datang dari mimpi lain: LPDP. Aku juga mendaftar LPDP untuk melanjutkan S2 di UPI, lewat jalur afirmasi prasejahtera. Aku serius menjalaninya. Sampai-sampai ikut simulasi wawancara dengan mentor dari komunitas Leto. Feedback-nya membuatku terharu: katanya, dari sisi akademik dan kontribusi, aku sudah kuat. Tak ada catatan serius. Tinggal takdir yang akan menentukan.
Dan di sinilah dua jalan itu mulai saling tabrakan.
Kalau lolos dua-duanya, rencanaku awalnya sederhana: jalani P3K dulu, dua tahun, kumpulkan pengalaman dan penghasilan, baru lanjut LPDP. Tapi ternyata, di jalur afirmasi, kita disarankan ikut program pengayaan bahasa dulu—program persiapan TOEFL. Gratis, intensif, dan sangat bermanfaat. Tapi durasinya bisa 3 sampai 6 bulan.
Kalau dapat yang 6 bulan, aku tidak yakin bisa ambil LPDP tepat waktu sambil tetap menjalani P3K. Karena cuti belajar P3K tidak semudah itu. Dan kalau aku melepas pengayaan bahasa, rasanya sangat eman. Kapan lagi bisa belajar bahasa Inggris secara gratis, mendalam, dan fokus, dengan target TOEFL yang jelas?
Aku mulai bimbang.
LPDP adalah mimpiku yang idealis: belajar lagi, tumbuh, berkontribusi lebih besar di masa depan. Tapi LPDP tak menjanjikan kepastian finansial. Setelah lulus S2, belum tentu langsung kerja. Belum tentu ada pemasukan tetap.
Sedangkan P3K adalah jalan yang lebih realistis. Gaji tetap. Tunjangan yang lumayan besar, apalagi di Kaltim. Jaminan yang selama ini aku butuhkan untuk melanjutkan hidup. Tapi kalau aku memilih P3K dulu, akankah aku masih bisa mengejar LPDP setelahnya? Apakah akan ada waktu, energi, dan kesempatan?
Di tengah keraguan ini, aku hanya bisa berharap: semoga ada jalan tengah. Mungkin, semesta bisa izinkan aku ikut pengayaan bahasa dulu, lalu LPDP, baru setelahnya menjalani P3K. Ya, mungkin totalnya butuh waktu 2,5 tahun. Tapi kalau itu bisa dilakukan, aku akan menjalaninya dengan sepenuh hati.
Tapi kalau tidak, aku juga siap menempuh jalan yang paling masuk akal. Karena bagaimanapun, hidup tidak selalu soal mimpi. Kadang, hidup adalah tentang keberanian memilih, dan kesiapan menjalani apa pun yang datang setelahnya.
Semoga saja, apa pun jalannya, aku bisa tetap tumbuh. Karena pada akhirnya, semua ini adalah tentang versi terbaik dari diriku sendiri—yang masih terus aku perjuangkan.
Belum ada tanggapan untuk "Saat Dua Mimpi Bertabrakan: P3K atau LPDP?"
Post a Comment