Semakin bertambah usia, semakin aku menyadari bahwa dunia ini tidak sesederhana hitam dan putih. Tidak semua bisa dikotakkan menjadi "baik" atau "buruk", "benar" atau "salah". Kenyataannya, hidup berjalan di antara gradasi abu-abu — zona yang penuh ketidakpastian, kompromi, dan kemunafikan yang dilegalkan secara sosial.
Dulu aku percaya bahwa jika kita baik, maka semuanya akan berjalan baik. Tapi ternyata dunia tidak seadil itu. Kepercayaan bisa dikhianati, kebaikan bisa dimanfaatkan, dan orang yang terlihat mulia belum tentu tak bermuka dua. Bukan berarti kita harus menjadi sinis, tapi kita juga tak bisa terus menjadi naif.
Pada akhirnya, kita sering dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tampak baik atau sama-sama tidak ideal. Di situlah kita kadang merasa terpaksa menjadi munafik — bukan karena kita ingin, tapi karena keadaan yang mendorong. Maka jangan heran jika di dunia ini tak ada keadilan mutlak, karena memang tempatnya bukan di sini.
Justru mereka yang mengaku “putih murni” yang perlu diwaspadai, karena seringkali kepolosan itu hanya topeng. Dan mereka yang tampak “hitam” pun tak selalu layak dihakimi, karena bisa jadi mereka hanya korban keadaan.
Dunia ini abu-abu. Ada yang keputih-putihan, ada yang kehitam-hitaman. Tugas kita bukan mencari warna yang sempurna, tapi belajar memilih dan bertanggung jawab atas pilihan itu. Karena keadilan yang sejati… hanya milik akhirat.
Belum ada tanggapan untuk "Abu-Abu Dunia dan Keadilan yang Tertunda"
Post a Comment