Aku kuliah S1 di STKIP Al Hikmah Surabaya, jurusan Pendidikan Matematika. Alasan pilih kuliah di sana sebenarnya cukup sederhana: ada beasiswa full dan ada janji bahwa setelah lulus akan langsung ditempatkan kerja. Bisa dibilang kayak ikatan dinas versi swasta gitu lah.
Tapi ternyata sistem kuliahnya agak berbeda. Modelnya boarding school, jadi bukan cuma belajar akademik, tapi juga harus menghafalkan Al-Qur'an sebanyak 10 juz sebagai syarat kelulusan. Jujur, waktu awal aku pesimis banget. Aku bukan tipe orang yang terlalu agamis, dan hafalan Qur'an itu terasa berat. Tapi entah bagaimana, akhirnya aku bisa lulus tepat waktu. Banyak temanku justru nggak sanggup dan ada yang lulusnya telat, bahkan ada yang menyerah di tengah jalan.
Yang mau aku highlight sebenarnya bukan itu. Tapi tentang ijazah. Lebih tepatnya, ijazah fisik—karena PDF-nya sih dikasih.
Jadi gini ceritanya. Saat awal diterima kuliah, kami para calon mahasiswa diminta menandatangani MoU. Di situ tertulis bahwa setelah lulus, kami wajib mengabdi selama 2n+1, di mana n adalah masa studi. Karena aku kuliah selama 4 tahun, artinya wajib mengabdi selama 9 tahun. Tapi waktu penandatanganan itu, informasi soal pengabdian ini nggak dijelaskan dengan gamblang. Nggak dijelasin secara eksplisit bahwa kalau nggak ikut pengabdian, ijazah fisiknya bakal ditahan.
Jadi kami para mahasiswa saat itu ya berpikirnya simpel aja: habis lulus ya kerja, kemungkinan besar di Al Hikmah sendiri. Nggak ada yang ngira bakal ada konsekuensi seberat itu.
Dan ternyata benar, buat yang nggak ikut pengabdian, ijazahnya ditahan. Ini yang bikin aku kecewa dan marah. Karena nggak ada kejelasan dari awal. Tidak transparan. Rasanya kayak dijebak secara halus. Dan menurutku, kepercayaan itu penting. Kalau awalnya saja sudah nggak jujur, bagaimana aku bisa percaya dengan sistem pengabdiannya?
Padahal ya kalau dipikir-pikir, dari segi gaji, pengabdiannya cukup oke. Waktu itu sekitar dua jutaan, dan untuk fresh graduate itu udah lumayan. Tapi karena statusnya masih “pengabdian,” proses untuk naik jadi pegawai tetap itu lama. Dan di sisi lain, waktu itu ada kesempatan daftar PPG Prajabatan yang punya prospek lebih jelas—karena diarahkan jadi ASN. Jelas aku lebih tertarik ke sana.
Yang bikin aku makin ingin cerita sekarang adalah karena lagi ramai soal penahanan ijazah oleh perusahaan, yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang. Lah, kalau perusahaan aja dilarang, gimana ceritanya kalau kampus yang nahan ijazah?
Dan yang bikin kesel, hal soal penahanan ijazah ini nggak tertulis di MoU. Jadi bisa dibilang ini praktik yang nggak punya dasar hukum yang kuat. Kalau dari awal dijelaskan secara terbuka, mungkin kami bisa mempertimbangkan matang-matang. Tapi kalau begini caranya, ya wajar kalau banyak mahasiswa dan alumni merasa kecewa dan memilih untuk tidak mengabdi.
Belum ada tanggapan untuk "Cerita Tentang Kuliah S1 di STKIP Al Hikmah Surabaya"
Post a Comment