Selama kuliah di STKIP Al Hikmah, salah satu syarat kelulusan dari program beasiswa yayasan adalah menyelesaikan tahfidz 10 juz. Awalnya targetnya bukan main—harus mutqin, bahkan katanya harus bisa sekali duduk. Tapi makin ke sini, karena banyak yang nggak mampu memenuhi target itu, akhirnya persyaratannya dilonggarkan. Yang penting setor aja, nggak harus sempurna. Kalau nggak gitu ya nggak bakal ada yang lulus.
Ada beberapa hal yang bikin kesel. Pertama, kami awalnya disuruh menghafal Surat Al-Anfal dan At-Taubah. Kalau kalian tahu, dua surat itu termasuk yang susah banget buat dihafal. Panjang, tidak ritmis seperti surat-surat pendek, dan temanya berat. Padahal kalau menurut tradisi umum, hafalan itu biasanya dimulai dari Juz 30 atau Juz 1 yang lebih pendek dan ringan. Lah ini langsung dikasih yang paling berat.
Yang bikin makin kesel, setelah dua tahun berjalan, baru dikasih tahu bahwa dua surat itu tidak dihitung dalam total hafalan 10 juz. Gimana nggak kesel coba? Udah capek-capek ngafalin, sampai begadang, ngorbanin waktu, nguras energi dan mental—eh ternyata nggak kepakai. Memang, ada yang bilang “nggak ada yang sia-sia dalam menghafal Al-Qur’an.” Tapi kenyataannya, rasanya sia-sia banget. Karena menghafal itu bukan cuma soal niat, tapi juga soal waktu, tenaga, dan kondisi mental.
Tapi ya mau gimana lagi, karena ini beasiswa yayasan, ya harus nurut. Apalagi waktu itu masih awal-awal kuliah, masih idealis dan belum berani banyak protes.
Oh iya, waktu itu sempat kena pandemi Covid, jadi dua tahun pertama aku boarding dan kuliah offline di kampus, dan dua tahun sisanya dijalankan secara online. Nah, justru waktu online ini aku banyak setor hafalan. Karena setoran bisa dilakukan dari rumah, dan lebih fleksibel—boleh setor setengah halaman. Padahal sebelumnya minimal harus satu halaman, dan buatku itu berat banget. Di rumah, rasanya lebih tenang dan lebih nyaman buat menghafal. Akhirnya, selesai juga setoran hafalan 10 juz.
Tapi... sekarang semua hafalan itu udah hilang. Udah lupa semua. Paling-paling cuma ingat potongan ayat di sana-sini. Karena memang dari awal aku gak passion di situ. Hafalan itu bukan sesuatu yang aku sukai, dan karena dijalani dengan terpaksa, ya nggak nempel di hati. Akhirnya nggak bertahan lama di kepala.
Pelajaran yang aku ambil dari pengalaman ini: jangan memaksakan anak untuk menghafal Al-Qur’an. Walaupun sekarang tren-nya ke sana—anak-anak SD udah dibiasakan tahfidz sejak dini—tapi aku pribadi nggak setuju kalau itu dipaksakan. Kalau bukan passion, itu malah jadi beban. Besok kalau aku punya anak, ya cukup yang basic aja. Paling nggak Juz Amma sebagai dasar. Selebihnya biar anaknya sendiri yang menentukan.
Karena niat yang tumbuh dari hati jauh lebih kuat daripada paksaan dari luar.
Belum ada tanggapan untuk "Cerita Tentang Tahfidz 10 Juz Selama Kuliah di Al Hikmah"
Post a Comment