Beberapa hari yang lalu saya nonton kanal YouTube-nya Tempo. Dan jujur, saya cukup kaget. Di situ dijelaskan bahwa ternyata pusat dari judol alias judi online itu bukan di Indonesia, tapi di Kamboja. Bahkan Tempo sampai mengirim jurnalisnya langsung ke sana. Hebat sih investigasinya, tapi juga bikin merinding.
Di Kamboja, ternyata mendirikan perusahaan judi itu sah-sah saja. Legal. Tapi yang lucu, justru warga negaranya sendiri dilarang bermain judi. Iya, jadi boleh bikin, tapi gak boleh main. Aneh tapi nyata. Nah, celah inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang dari Indonesia. Mereka mendirikan perusahaan judol di sana, lengkap dengan kantor, pegawai, bahkan kompleksnya sendiri—semua berasal dari Indonesia. Pemiliknya orang Indonesia, pekerjanya orang Indonesia, dan pasarnya? Ya jelas, orang Indonesia juga. Wehwehweh... suangar.
Kalau dilihat dari laporan keuangan negara Kamboja, salah satu sumber pemasukan terbesarnya ternyata ya dari industri judi ini. Jadi gak heran kalau uang di Indonesia rasanya kayak menguap—susah dicari, gak berputar di dalam negeri. Ya karena larinya ke luar, ke Kamboja salah satunya.
Yang bikin ngeri, Tempo juga menyebutkan bahwa para pemilik perusahaan judol ini bukan sembarangan. Ada yang memang pebisnis, tapi juga ada yang ternyata merupakan petinggi partai politik. Gila gak tuh? Ini bukan sekadar soal moral, tapi juga soal arah negara ini mau dibawa ke mana. Kalau yang duduk di kursi kekuasaan ternyata bagian dari lingkaran bisnis judol, pantas saja pemberantasannya setengah hati.
Kita harus waspada. Ini bukan cuma soal kriminal, tapi juga soal sistem. Soal keberanian kita menjaga masa depan bangsa dari kehancuran yang dibungkus kemewahan.
Belum ada tanggapan untuk "Judol dan Kamboja: Ironi, Celah, dan Bahaya Nyata"
Post a Comment